Senin, 30 Juni 2008

Puisi-Puisi KHOERULLANA yang telah dimuat di Horison edisi april 2008

Beda, Aku Priyayi !

Masih muda . nggak ! Belum pantas mikirin hal-hal besar. Kau harus mulai pekerjaan besar itu, proyek luar biasa itu harus kau kerjakan mulai deti k ini. Jangan menunggu-nunggu lagi. Sekarang saatnya. Hiasi desamu dengan ide-ide mudamu.

Mengapa harus aku ?

Kau. Kau kan priyayi. Sedangkan di kampung itu hanya onggokan-onggokan daging yang kerjanya hanya mengurusi perut dan nafsu. Kau tahu itu kan ? Kau berbeda. Beda !

Apa yang bisa ku lakukan?

Bodoh. Kau harus adakan riset-riset, penelitian. Jadikan desamu sebagai desa wisata. Teliti segala flora-flora untuk bikin obat-obat mujarab. Bikin waduk agar desamu selalu memproduksi beras.

Begitu ….?

O, jangan lupa bangun perpustakaan desa terlengkap. Bikin koperasi. Kerjakan pemuda-pemuda penganggur untuk mengurangi ketidakproduktifan desamu. Ditambah budayakan membaca pada masyarakatnya. Aturlah warganya agar selalu datang ke masjid-masjid.

Tapi apakah bisa ?

Masa nggak bisa ! Kau kan priyayi. Seorang priyayi punya tanggungjawab besar untuk memakmurkan desa dan masyarakatnya.

Stop ! Kau hanya memanfaatkan kepriyayianku saja. Padahal kau kerjanya apa? Kami tahu apa yang terbaik bagi kami.

Hening. Segalanya diam. Kiamat terdengar semakin dekat.

Indramayu, 30 Juni 2007

Bisikan Alam

Dengar !

Di setiap waktu, saat, tempat

Gemuruh neraka terdengar

Desir gegabah angin

Gelegak magma di dasar bumi

Gemericik ngarai

Indaramayu,30 Juni 2007

Merah Putih Koe

Terowongan panjang terkuak. Labirin merah putih merongrong. Dalam pergelutan hidup. Tanpa batas. Lolongan sumpah pemuda dari pojok kota semrawut. Perang.

Belanda, Inggris, Jepang terusir. Mengibarkan merah putih koe. Rasa bergemuruh, bergetar, berbuih. Jeritan pusaka’45 terjaring Palapa hingga pelosok dunia dan akhhh!

1998. sulur krismon melilit koe. Angka-angka rupiah megap-megap terantai dollar. GAM, RMS, SARA-f sia !!!

Mengamburadulkan api-api pengerontang kedamaian. Korban terpontang-panting dalam gameTsuanami-Gempa. Koruptor, Plagiator, dan lazi men menggrafitikan watak mereka dalam keabadian sejarah merah putih koe.

Itulah merah putih koe yang kutahu. Sangat nyata dari lensa realita. Ku kan selalu cinta walau korup terwarisi pada benih-benih biru lagi suci. Ku cinta ! Kan kugempur akar tua mereka. Habis sabarku, cinta tanah air terdesak dalam pustaka berjamur. Siap meledakkan sporanya.

Kemanakah kebanggan itu kau simpan ? Diva-diva merah putih, jawara-jawara Olimpiade menangis saat mereka dinobatkan sebagai pemenang. Apalagi maumu ? Kemanakah nasionalismemu ketika Sipadan dan Ligitan tumbang ditangan bangsa lain ? Ayo marahlah Sang Provokator ! Jangan diam saja! Mana karyamu ! Pertwi yang selalu hiajau berbunga. Pipit senja yang kau temui. Embun segar yang menanti diinjak langkahmu. Polutan menari-nari disetiap imej kaum tua pewaris kekunoan Borobudur. Bali selalu menyapu wisatawan bersama Pram Sang Legenda Sastra. Pencercah lilin kecil dikegelapan merah putih koe. Bagimana bisa tidak cinta merah putih koe. Lingkungan penyemangat hidupku. Kasih terdekat setiap jengkal derita menimpa. Begirulah cintaku larut dalam serpihan-serpihan harapan dan realita. Kibaranmu menyemangati karyaku. Pertempuran indah meraih kemerdekaan sejati lagi abadi.

Bandung, 18 September 2007

Gebu Muhammad

Terhunus lara menggerogoti hari-harimu

Terkunci desah keluh berpeluh gelisah

Engkau tersenyum, Mushlih

Kalbuku mengudara penuhi alam raya

Berbintang

Tegar mencakar Muhammad kecil

Tanpa Abi wal Ummi

Gemetar campur deru jiwa ini

Seraya kaleidoskop berputar-putar

Ummatti !!!

Engkau pulang, teladan kau tinggalakan

Islam berubah

Kegelapan mulai merembes

Ke sela-sela kapas putih yang kau pintal

Rindu membelah angan-angan di sisimu

Terhenyak menatap mata beningmu

Damai selera spiritual tergolak

Menggelegak penuhi periuk-periuk

Cairan kehidupan

Resep hidup bahagia yang kau ramu dulu

Menghilang kembali terselip

Dalam lembaran-lembaran kemaksiatan

Terpisah dalam buku-buku tua

Berpenyakit hati

Realita tak seindah bersamamu

Taring-taring kaum kafir beranjak terpasang

Disegala sudut. Potongan-potongan awan tak sebersih dulu

Ozon pun bolong, tahukah kau apa itu Ozon ?

Harap bergelora menduduki majlismu

Bersama generasi emas dunia. Ali, Zaid, ubay, Bilal

Kemanakah pewaris-pewaris akhlak itu ?

Mikrajmu Isramu yang melebarkan

Mulut munafik berbuah sholat

Bisu tanpa kata

Bandung, 9 September 2007

Negeri Sihir

Jubah-juabh gelap kelayapan di meja politik. Sapu-sapu impor merumputi pasar sihir.

Obral ramuan sukses ‘UN’ tak ayal lagi habis-habisan. Rengekan bocah melengking. Bocah

Sihir minta dibelikan mainan produksi Negeri Naga.

Kancah percampuran departemen-departemen konkrit-nyata. Dengan mantera-mantera kuno mereka hidup

Warisan nenek moyang tak terniali. Layar purnama lagi bening

Namun, dikolong-kolong jembatan penyihir-penyihir miskin mantera mengendap

Perlahan. O, kaum malas itu mengaum seperti lolongan serigala, wajah mereka tak

Seramah penyihir kota. Menyeramkan, beberapa bagian mukanya hilang. Hidung

Telinga

Perdamaian di dunia sihir adalah sesuatu yang membahayakan. Untuk kehancuranlah dunia sihir dibuat

Bukan untuk perdamaian

Alam sihir sama kejamnya dengan arti sihir itu sendiri

Mereka terbentuk untuk berkelahi, makan memakan, tikam menikam

Ribuan mantera pemusnah masal racikan penyihir Cendikia, tak tertahankan lagi.

Bandung, 26 September 2007

Felodese

Ruh terpaksa mencabut diri

Peri kematian bertambah gelisah

Air mata terakhir

Satu-satunya harapan

untuk memadamkan hati yang telah lama membara

Bandung, 25 Oktober 2007

Cengkih di Luar Jendela

Senjakala menggelayut , langit biru menggerimis

Remang mendung menembus jarum bayu

Renung kududuk menatap cengkih

Di luar jendela

Betotan rasa idah-Mu memabukkan

Liliput-liliput kalbu pengharum ruang imanku

Bayangan biji cengkih ku rengkuh

Getahnya mengganyang gula-gula

Aroma terapi

Kosmos rintikkan hujan memuncak

Pucuk-pucuk mencandi

Unik kutatap berulang demi cengkih

Yang jarang kutemui

Bandung, 11 November 2007

Sajadah

Menangisi selembar tempat sujud menghadap-Mu

Mimbar sudah rindu menantimu

Gema-gema lima waktu

Ajakan untuk mencium-Mu

Seraya meminta ketetapan hati

Dari api-api kiriman setan, jin, dan manusia

Lapuk merayapi benang-benang kulitmu

Using merebak dari endusan najis

Kelembutan menyelimuti jaringan epitel tubuhku

Ayat Qur’an melekat disetiap bau-bau yang

Kuhisap sambil bersujud

Air mata batin rindu mengharu biru

Rasa menyelaksa duka lara

Memorikan segalanya

Di metropolitan emosi taala

Bandung, 11 November 2007

Bureau

Kala sepi menggigil di ujung kusen jendela

Ku terawang seni daun hijau menetaskan embunnya

Pada mata bening cahaya masa depan

Sobekan kertas yang tergeletak acak penuh dijejali wacana. Tak terjamah

Sepi yang dirindukan seorang kadang-kadang

Adalah sepinya bureau

Semesti masalah kuluapkan dalam ayunan tangan menggoret seuntai-untai makan madu

Lebah terselip hamper di setiap buku

Bandung, 11 Desember 2007